MISTERI KEMATIAN EDUARDO AGNELLI SANG PRESIDEN JUVENTUS
Eduardo Agnelli namanya. Dia adalah putra tunggal Gianni Agnelli, bos besar Fiat Group, sekaligus keluarga besar pemilik klub besar Juventus. Ayahnya adalah Kristiani dan ibunya adalah seorang puteri Yahudi. Suatu hari dia menyaksikan acara debat politik di televisi Atlanta. Tema yang mereka bahas adalah tema “panas” pada saat itu: krisis di Iran pasca-Revolusi Islam. Ada empat tamu dalam acara itu. Tiga wartawan dan seorang jubir Kedubes Iran di Roma, bernama Hassan Ghadiri Abyaneh.
Abyaneh mendapat giliran bicara yang pertama. Dalam bahasa Italia, dan dengan penuh keyakinan ia berucap, “Dengan Nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan Nama Tuhan yang Lebih Besar dari kapal-kapal induk Amerika.” Kalimat itu membuat studio seperti tersihir, kamera seperti membeku, begitu pula Eduardo di depan televisi. Ketika debat usai, keputusan Eduardo sudah bulat: dia harus mendatangi rumah Abyaneh di Roma. Abyaneh mengenangnya dengan perkataan, “Dia datang dengan skuter butut.” Seolah-olah dia ingin dikenal sebagai orang biasa, meski bisa saja datang dengan membawa Ferrari.
Kepada satpam dia mengenalkan diri dengan nama Eduardo. Dia mengatakan kenal Abyaneh di televisi, dan ingin berdiskusi sekaligus meminjam buku-buku tentang Imam Khomeini, pemimpin besar Revolusi Islam Iran. Jawaban yang diterima awalnya negatif. Tuan rumah sedang tidak ingin diganggu karena akhir pekan adalah waktu keluarga. Sekali lagi Eduardo menitip pesan kepada tuan rumah melalui satpam; yaitu: “Pintu Tuhan tak pernah tertutup.” Segera Abyaneh keluar rumah dengan wajah bersalah. Persahabatan pun dimulai.
Abyaneh kini tau bahwa Eduardo juga seorang muslim. Ia mengenal Islam saat kuliah di Universitas Princeton jurusan Filsafat dan Kajian Agama. Setelah membaca terjemahan Alquran berbahasa Inggris ia masuk Islam, namun disembunyikan dari publik. Dalam surat-suratnya ia menggunakan nama Hisham Aziz, namun dengan teman-teman Irannya ia menggunakan nama sebagai seorang Syiah, Mahdi.
Bagi Eduardo, Abyaneh adalah pintu masuknya ke Iran, bertemu dengan ulama berserban. Dia pun terbang ke Iran dan salat Jumat di belakang Ali Khamenei—pemimpin spiritual Iran sekarang.
Saat pers Barat mencitrakan Imam Khomeini sebagai diktator haus darah, Eduardo malah menemui beliau. Mantan presiden Iran, Hashemi Rafsanjani, mengisahkan bahwa Imam Khomeini sempat mengecup kening Eduardo dan menasehati: “Banyaklah merenung dan mengingat kehidupan setelah mati.”
Eduardo menemukan kedamaian dalam Islam yang seperti itu dari sekali membaca Alquran. Dia pernah bercerita:
“Suatu hari di New York pada saat saya berada di perpustakaan, saya sedang mencari-cari buku yang saya perlukan. Tanpa sengaja mata saya tertuju pada sebuah copy Alquran, sungguh saat itu saya sangat ingin tahu dan penasaran dengan kitab tersebut dan ingin mengetahui apa yang ditawarkan oleh kitab tersebut.
Akhirnya saya mengambil kitab tersebut dan mulai membaca terjemahaannya dalam bahasa Inggris. Sungguh pada saat saya membacanya tulisan dan ungkapan-ungkapan di kitab ini mempunyai sesuatu kekuatan dan petunjuk di dalamnnya, dan semua itu tidak mungkin dapat ditulis oleh seorang manusia. Saya sangat kagum dengan ungkapan-ungkapan di dalam kitab ini dan tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam, jadi saya meminjamnya dan mempelajarinya. Makin dalam saya membaca makin saya mempercayainya dan mengerti makna semua kata-katannya.”
Hubungan dengan Abyaneh pun kian erat. Namun dengan keluarga semakin menegang. Saat Eduardo mengunjungi Mashhad dan berziarah ke makam Imam Ali Ridha ia berdoa, “Aku hanya inginkan cinta dan kasih ayahku selalu ada untukku ke depan.” Namun ayahnya, Gianni, yang tahu bahwa Eduardo berkiblat ke Tehran, menyatakan di media kalau Eduardo tak layak menjadi petinggi Fiat. Lebih buruk lagi ketika Eduardo di fitnah sebagai “gila” dan “pecandu narkotika” yang dibuat keluarganya sendiri.
Husein Abdullahi, mahasiswa Iran yang belajar di Turin mengisahkan bahwa Eduardo sering menyendiri setelahnya dengan membaca buku dan Alquran, bahkan kadang hanya dengan lilin.
Beberapa kali Eduardo menyatakan keinginannya untuk menetap di kota teologi Syiah, Qom (Iran), untuk mendalami filsafat dan Alquran. Eduardo juga meminta Abdullahi untuk menghubungi Departemen Perdagangan Iran karena ia ingin “menyumbangkan sebagian kekayaanya” tanpa diketahui orang banyak.
Namun, sesuatu terjadi sebelum itu.
KAMIS, 15 November 2000, sekitar pukul 10.05 pagi di jalan raya yang menghubungkan Torino-Savona, Italia bagian utara. Carlo Franclni, petugas dinas Jalan raya, menemukan Fiat Crona abu-abu di sisi kanan jalan, di atas tanjakan Jembatan Romano. Semua pintu mobil tak terkunci dan lampu masih menyala, tapi pemiliknya tidak ada. Setelah menghubungi petugas kepolisian dan melakukan pencarian, sesosok tubuh pria ditemukan di dasar Jembatan, 67 meter di bawah sana. Wajahnya rusak nyaris tak bisa dikenali. Namun, kartu identitas di dalam sakunya menunjukkan foto seorang pria berwajah bersih kelahiran New York, 9 Juni 1954, Edoardo Agnelli, anak tertua dan putra satu-satunya dari Senator Giovanni "Gianni" Agnelli, pemilik kerajaan bisnis Grup Rat dan klub sepakbola legendaris Juventus FC.
Tidak seperti penanganan kematian misterius dari anak seorang yang berpengaruh, slang harinya, jasad Edoardo langsung dibawa ke pemakaman di kota terdekat, Fos-sano. Sore itu juga. Jasad itu dipindahkan ke tempat peristirahatan keluarga Agnelli di Villar Perosa. Esok paginya, Edoardo dimakamkan. Tidak ada otopsi dan penyelidikan menyeluruh untuk mengetahui sebab kematian. Kurang dari satu hari setelah jasad itu ditemukan, polisi pun mengambil kesimpulan, Edoardo Agnelli mati bunuh diri meski tidak ada catatan apa pun yang la tinggalkan. Bahkan, pada pagi Itu, Edoardo masih sempat memesan makan siangnya.
Nama Agnelli adalah Jaminan kemakmuran dan pengaruh di Italia. Keluarga ini bahkan kerap disebut sebagai "keluarga kerajaan Italia" oleh media-media massa di Negeri Pizza itu. Berbeda dengan anggota keluarga yang lain, Edoardo sejak awal tidak terlalu ter-tarik dengan bisnis keluarga-nya. Satu-satunya aset keluarga yang sempat la urus adalah klub sepakbola "Sl Nyonya Tua" J uvenlus pada era 1980-an.Kajian agama, filsafat, dan spiritualitas Timur Jauh lebih menarik baginya. DI Princeton University. Amerika Serikat, ia menempuh studi di bidang tersebut hingga meraih PhD. Perjalanan akademik plus spiritual inilah yang mengantarkannya mengenal Islam. Setelah membaca terjemahan Al-Quran berbahasa Inggris, ia pun masuk Islam, sebuah fakta yang tak banyak orang ketahui .karena memang ia sembunyi dari publik.
Dalam tulisan-tulisannya tentang Islam, la menggunakan nama Hlsham Aziz.Pada 1979, setelah pecahnya Revolusi Islam Iran, Edoardo diam-diam menjadi pengagum Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi tersebut. Pada suatu waktu ia memutuskan untuk menemui Hassan Ghadiri Abyaneh. jurubicara Kedutaan Besar Iran di Roma. Pertemuan ini dikisahkan Abyaneh seperti berikut "Dia datang dengan skuter butut. Seolah-olah dia ingin dikenal sebagai orang biasa, meski bisa saja datang dengan membawa Ferrari.Kepada satpam dia mengenalkan diri dengan nama Edoardo. Dia mengatakan kenal Abyaneh di televisi, dan ingin berdiskusi sekaligus meminjam buku-buku tentang Imam Khomeini.
Jawaban yang diterima awalnya negatif. Tuan rumah sedang tidak Ingin diganggu karena akhir pekan adalah waktu keluarga. Sekali lagi Edoardo meniup pesan kepada tuan rumah melalui satpam; yaitu PintuTuhan tak pernah tertutup. Segera Abyaneh keluar rumah dengan wajah bersalah. Persahabatan pun dimulai.Bagi Edoardo, Abyaneh adalah pintu masuknya ke Iran, bertemu dengan para ulama bersorban. Dia pun terbang ke Iran dan shalat Jumat di belakang All Khamenei - pemimpin spiritual Iran sekarang.Saat pers Barat mencitrakan Imam Khomeini sebagai "diktator haus darah", Edoardo malah menemui sang Imam. Mantan Presiden tan. Hashemi Rafsanjani. mengisahkan bahwa Imam Khomeini sempat mengecup kening Edoardo dan menasehatl, "Banyaklah merenung dan mengingat kehidupan setelah mati".
Mendapati kenyataan putra mahkotanya seorang Muslim, apalagi pengagum ulama "garis keras" macam Khomeini, Gianni meradang. Dalam sebuah kesempatan, la menyatakan kepada publik bahwa Edoardo tak akan mewarisi bisnisnya. Berbagai cara dilakukan untuk mendiskreditkan Edoardo agar mendapatkan justifikasi bagi upaya menying-kirkannya dari daftar pewaris utama. Edoardo pernah dituduh gila dan hendak dimasukkan ke pusat rehabilitasi. Tak cuma itu, Edoardo sempat didakwa memiliki heroin ketika berada di Kenya. Sebuah dakwaan yang kemudian ditolak pengadilan Kenya.
Polisi berkesimpulan bahwa Eduardo “bunuh diri”. Namun banyak sahabat yang tidak percaya. Husein Abdullahi mengatakan bahwa Eduardo bukan tipe jiwa yang rapuh. Apalagi tiga hari sebelum kejadian Eduardo masih menyatakan niatnya belajar agama di Iran.
Tahun 2001, wartawan dokumenter Iran terbang ke Italia untuk menelusuri sebab kematian Eduardo. Menurut mereka Zionis telah membunuh Eduardo untuk mencegah Fiat dipimpin oleh seorang muslim.
Wartawan Iran sempat mendapat izin melihat kuburan Eduardo yang terletak dalam gereja mengatakan, “Kami mungkin wartawan muslim pertama yang diberi kesempatan untuk mengambil gambar kuburan Edoardo dan juga sekaligus mungkin yang pertama membacakan Al-Fatihah di kuburannya.” Langkah para wartawan terhenti. Polisi mendeportasi mereka. [Nampaknya, inilah kehidupan penuh misteri dari keluarga mafia—eja].
Di Villar Perosa, jenazah dikuburkan tanpa kafan, tidak ada Al-Fatihah. Semua dilakukan dengan cara Kristen. La Stampa, koran terbesar Torino milik Dinasti Agnelli, menurunkan brita dengan judul: “La’addio a Edoardo Agnelli” (Selamat Jalan, Eduardo Agnelli).
MOHON MAAF BILA MENGANDUNG UNSUR2 SARA..
wah manteps mbak
ReplyDeletepenggemar juventus juga ternyata
join blog saya
http://odeittelkom.blogspot.com/